Manado, Barta1.com – Ketekunan kerab membuahkan hasil sesuai yang kita cita-citakan dan impikan. Meski proses menggangapai itu tak mudah namun melalui proses yang panjang.
Seperti yang dirasakan Prida Sanda. Nenek kelahiran Kolongan Akembawi, Sangihe, 23 Mei 1931, yang lahir sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Seblong Sada seorang petani dan Bernece Manumpil, ibu rumah tangga.
Sejak 10 tahun Prida diajarkan bekerja di rumah, berkebun hingga berjualan.
Tahun 1942, saat umur 12 tahun, ia mendapatkan bantuan mengikuti pendidikan Bahasa Belanda oleh Pemeritah Belanda di Sangihe, kala itu. Setelah menyelesaikan sekolah Belanda, dia pun melanjutkan sekolah Jepang.
Sepulang sekolah dirinya membantu orang tua menyiapkan hasil kebun yang akan dijual seperti singkong, pisang dan kue nasi jahe.
Lulus pendidikan Belanda dan Jepang, pada tahun 1958 Prida melakukan perjalanan ke Kota Daeng Makassar, guna bekerja di rumah bersalin.
Bekerja selama 2 tahun di sana, akhirnya Prida bertemu dengan seorang Kapten Yosman Tulusan. Seorang Kapten Polisi Laut Indonesia pada tahun 1960, dan menikah di sana.
Karena tugas yang seorang suami mengelilingi perbatasan laut indonesia, Prida memutuskan untuk ikut berlayar dan sempat menginjak negera Singapura dan Jepang, pada tahun 1963.
Bahkan tahun 1964 dia dan suami memutuskan pergi dan tinggal di Jakarta. Lalu mengandung anak dari buah cinta bersama sang kapten polisi laut indonesia, dan melahirkan anak perempuan bernama Flora Tulusan, pada 26 September 1965 di Jakarta.
Berjalannya waktu rumah tangga mereka tidak sejalan lagi, diakibatkan perhatian sanga suami mulai kendor. Menyakitkan, ketika Prida mengetahui sang suami berselingkuh dengan perempuan jawa.
Akhirnya prida memutuskan kembali ke kampung halaman Sangihe untuk membesarkan anaknya.
Usia 32 tahun dia meninggalkan anaknya kepada orang tua di Sangihe, guna mencari pekerjaan di Manado.
Sempat bekerja sebagai pembantu, namun dia memutuskan untuk jualan kue di Kampus Politeknik Negeri Manado.
Suka duka menghampirinya ketika jualan kue yang cukup beragam itu. Ia banting tulang dari jualan kue untuk bisa membiayai hidup sehari-hari dan menyekolahkan cucunya sampai sarjana.
Perjuanganya tidak pernah berhenti sampai sekarang ini, terlihat tubuh yang membungkuk, kulit yang terlihat berkerut, tapi semangatmya tidak pernah pudar.
“Saya sekarang berumur 88 tahun. Tapi tidak pernah berhenti untuk berjualan. Umur bukan penghalang bagi kita yang berusaha,” ujarnya, Rabu (27/2/2019).
Dia berjualan di Kampus Politeknik Negeri Manado 15 tahun terakhir. Dari jualannya memperoleh keuntungan Rp 200 ribu.
Dari beberapa hasil keuntungan penjualan kue, ia mampu membantu salah satu cucunya bernama Dekwin Kristaung menyelesaikan kuliah D4 Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Manado.
Peliput : Meikel Eki Pontolondo
Discussion about this post