Minahasa, Barta1.com — Pengadilan Negeri (PN) Tondano Kamis (28/02/2019) telah menggelar sidang perkara perdata dari Pendeta Cynthia Rambitan melawan oknum Ketua dan Sekretaris Sinode GMIM, Pendeta Hein Arina dan Pendeta Evert Tangel.
Sidang perkara dengan nomor register 356/Pdt.G/2018/PN.Tnn itu dipimpin Ketua PN Tondano yang bertindak selaku Ketua Majelis Hakim. Sidang yang berlangsung terbuka untuk umum itu beragendakan pembacaan gugatan.
Dalam gugatannya setebal delapan halaman, Pendeta Cynthia selaku Penggugat menggugat, bahwa Pendeta Hein dan Pendeta Evert selaku Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Menurut Penggugat, perbuatan melawan hukum tersebut berkenaan dengan pembentukan kolom, pemilihan calon pelsus kolom, dan pemutasian Penggugat dari Jemaat Eben Haezer Winangun yang tidak sesuai dengan mekanisme dan prosedur Tata Gereja GMIM Tahun 2016.
Bagi Penggugat, perbuatan kedua Tergugat tadi merugikan Penggugat secara materil dan immateril. Total kerugian itu ditaksir sebesar Rp7.305.450.000 (tujuh milyar tiga ratus lima juta empat ratus lima puluh ribu rupiah).
Berhubung dengan itu, Penggugat menuntut kedua tergugat untuk membayar kerugian tersebut secara tunai. Penggugat juga menuntut kedua tergugat untuk memulihkan nama baiknya.
Dalam sidang yang berjalan dengan lancar itu, Pdt Cynthia hadir bersama tim kuasa hukum, seperti Frangky Weku SH MH. Sementara kedua Tergugat tidak hadir, tapi diwakili kuasa hukumnya.
Sidang perkara perdata antar-sesama pekerja Gereja itu akan dilanjutkan pada Rabu 13 Maret 2019, atau dua pekan depan dengan agenda pembacaan jawaban atas gugatan.
Berawal dari Kolom
Lantas bagaimana hingga lahir gugatan Pdt Cinthya pada kedua pemimpin Sinode GMIM? Semuanya berawal dari pemilihan majelis kolom 4 di Jemaat GMIM Eben Haezer Winangun, wilayah pelayanan Manado-Winangun, di mana pendeta perempuan ini menjabat ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ).
Dalam materi gugatan 8 halaman diterangkan, saat pemilihan pelayan khusus (Pelsus) kolom 4 pada 13 Oktober 2017 silam ada beberapa anggota jemaat yang melakukan walk out dari arena pemilihan. Para jemaat tersebut kemudian menuntut untuk memisahkan diri dan membentuk kolom baru. Masalah ini telah coba diselesaikan Cinthya selaku pemimpin jemaat dalam proses persidangan, namun terus bergulir ke aras wilayah hingga akhirnya sinode.
Pertemuan dengan pengurus Sinode, Pdt Dan Sompe yang kala itu masih menjabat Sekretaris Ajaran, Pembinaan dan Penggembalaan BPMS GMIM menyarankan agar jemaat yang meminta pisah kolom itu mau kembali dengan besar hati dan menerima segala keputusan dengan bijaksana.
Pada 30 November 2017 BPMS mengeluarkan surat keputusan bernomor 80.1.PPD.VII/XI/2018 tentang penetapan pelayan khusus terpilih di jemaat Eben Haezer Winangun. Surat itu ditandatangani ketua dan sekretaris Sinode, Pdt Hein Arina dan Pdt Ever Tangel. Anehnya, sehari kemudian keluar lagi surat bernomor sama namun berbeda tanggal, 29 Desember 2017. Dalam surat terakhir tidak nampak lagi nama kedua pelayan khusus kolom 4 hasil pemilihan.
Bahkan pada 25 Mei 2018, keluar lagi surat tugas BPMS GMIM yang ditandatangani ketua dan sekretaris, meminta Pdt Cinthya selaku ketua jemaat Eben Haezer Winangun serta BPMJ membentuk kolom baru dengan jumlah 17 kepala keluarga (KK). Hanya saja setelah dicek, bahkan disensus, ternyata jumlah KK di kolom baru ini tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang diamanatkan dalam aturan pembentukan kolom.
Masalah belum tuntas saat Pdt Cinthya menerima kabar bahwa SK pemutasian dirinya oleh BPMS GMIM lagi diproses. Sementara itu, dia memutuskan melakukan pelayanan ibadah ulang tahun jemaat di GMIJ Betlehem Oarai Jepang, sekaligus melayani pembaptisan anak. Merasa ini adalah panggilan terhadap amanat agung, Cinthya memenuhi undangan tersebut setelah sebelumnya meminta izin pada pimpinan Wilayah Manado-Winangun.
Masalah kolom terkatung nyaris setahun, hingga kehadiran sejumlah sekretaris bidang dari BPMS GMIM yang menggelar proses pemilihan majelis kolom pada 26 Oktober 2018. Dalam pemilihan itu, Pdt Cinthya yang masih berstatus ketua BPMJ, tidak diberikan kesempatan untuk berbicara.
Dalam kondisi begitu, Pdt Cinthya melihat ada beberapa prosedur yang dilanggar bahkan pemalsuan keterangan hingga keluar penetapan pelayan khusus salah satu kolom.
Dia juga menerima SK pemutasian dirinya, padahal baru menjabat 1 tahun 7 bulan di jemaat GMIM Eben Haezer Winangun, dari seharusnya 4 tahun. Sebelumnya dia tidak pernah diberitahu apa kesalahannya itu, kalaupun memang ada kesalahan.
Dia merasa pemutasian itu lebih kepada upaya demosi dan nama baiknya telah dirugikan. Dia mengalami kerugian materil hingga lebih dari Rp 305 juta merupakan sisa gajinya yang tidak terbayar karena belum menyelesaikan masa tugas namun sudah dimutasi. Pdt Cinthya mengaku mengalami kerugian immateril senilai Rp 7 miliar serta nama baiknya harus dipulihkan. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post