Tondano adalah sebuah kota tua, di masa purba disebut Minawanua. Di tahun 1661 Gubernur VOC di Maluku Simon Cos dan pasukannya pernah menyerbu kota ini, namun berhasil dipatahkan oleh 1.400 pemberani Minahasa. Peristiwa ini merupakan titik penting menuju sejarah perang besar 1809 yang disebut sebagai perang Moraya.
Di awal tahun 1992, saya berkesempatan ikut dalam pembuatan film ‘Benteng Moraya 1809’ yang digagas Yoseano Waas yang sekaligus penulis scenario. Kendati film ini gagal diproduksi, namun kisah perang Tondano itu telah tertanam jauh kedalam hati kami para actor yang terlibat.
Pada 2017 lalu, nilai-nilai patriotik perang Moraya –yang bikin penasaran ini—saya abadikan dalam beberapa scene film yang saya mentori berjudul “Semateir”. Dan beruntung, film ‘Semateir’ berhasil menyabet piala Gatra Kencana , sebagai Film Anak Terbaik Indonesia 2017.
Adrianus Kojongian, salah satu sejarawan Minahasa yang banyak menulis tentang kisah sejarah Minawanua dan Perang Moraya.
Desa purba Minawanua, saat ini ungkap Kojongian meliputi empat kelurahan, yakni Kelurahan Kiniar dan Kelurahan Toulour di Kecamatan Tondano Timur, serta Kelurahan Roong dan Kelurahan Watulambot di Kecamatan Tondano Barat.
Minawanua terbilang sangat strategis, tulis Kojongian dalam sebuah artikelnya yang dilansir situs “Jelajah Sejarah Manado”. Aslinya ungkap dia, berdiri di atas tiga pulau delta yang selalu digenangi air dan berawa-rawa, diapit oleh dua sungai, yakni sungai Wawolean dan Temberan yang kemudian menjadi sungai Tondano, bermuara di Kota Manado.
Tidak heran paparnya, karena posisinya yang strategis itu, pasukan Belanda mencoba menyerbu Tondano. Setelah penyerbuan Simon Cos tahun 1661, Residen Manado Carel Christoffel Prediger (1803-1809) dan penggantinya Marinus Balfour (1809-1810) juga mematik perang yang sama bahkan lebih dasyat lagi.
Lebih jauh beber Kojongian, upaya pendudukan Tondano di Minawanua dari berbagai jurusan yang dilakukan Belanda yang dibantu pasukan Ternate, Tobelo, Borgo dan pasukan bantuan lainnya, namun berkali-kali dipukul-mundur. Perang ini memakan korban jiwa terhitung besar. Malahan, Residen Carel Prediger yang berkuasa dengan mengganti George Frederik Durr, pada pertempuran bulan April 1809 tertembak kepalanya.
Perang besar yang belakangan disebut-sebut sebagai Perang Minahasa di Tondano itu meletus pada tanggal 14 Januari 1807, dengan tokoh utama Korengkeng-Sarapung. Namun, belakangan seperti dikemukakan sejarawan Bert Supit dan tuturan-tuturan keturunannya di Tomohon, dimotori Lontoh Tuunan, serta Korengkeng, Sepang, Abraham Lotulong dari Tondano-Toulimambot; Sarapung, Tewu, Matulandi dan Kepel dari Tondano-Touliang, ditambah Mamahit dari Remboken.
Puncak pertempuran terjadi ketika Minawanua yang telah mengalami blokade ketat diserbu dari tiga jurusan mulai tanggal 1 Agustus 1809.
Bert Supit mencatat, selama empat hari Belanda dipimpin Kapten Lodewijk Weintre mencoba menerobos. Baru di subuh hari tanggal 5 Agustus, mereka berhasil membobol, lalu membantai pejuang yang ada, termasuk semua penduduk yang tak berhasil melarikan diri. Seisi kota dibakar. Perlawanan terakhir dilakukan kaum wanita yang menyiramkan air panas mendidih.
Sisa-sisa perang dahsyat yang terjadi di Minawanua lebih 204 tahun silam itu masih dapat disaksikan dengan mata kepala sendiri. Bekas kota lama Tondano seluas empat hektar yang kini tersisa tak lebih dua hektar itu masih meninggalkan puing-puing perumahan masyarakatnya ketika itu.
Untuk mengabadikan perang besar orang-orang Minahasa ini, berikut sebuah sajak yang saya tulis saat berkali-kali mengunjungi tempat bersejarah tersebut:
MORAYA*)
aku tak mencari Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung
lengking suara manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya
ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usiaku, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya
ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasarku;
–minahasa sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara–
tiangtiang palisade terpancang di sekeliling
batangbatang sagu, kisahkisah hantu danau
dalam bayangan parit, amis
bau tubuh hangus
hanyut menembus abad
pucukpucuk mimpiku tertanak
mereka belum mati dalam 204 tahun pertempuran
benteng sesungguhnya masih kukuh
disiangi sawahsawah rawa Minawanua
dimana unggasunggas mengawinkan padi
dengan nyawa yang gugur
pada sebuah pagi dan malam buta
kembali ditetasnya ke dalam dada para leluhurnya
di atas kawah danau, air hidup mengairi sawahsawah
mengaliri jiwaku, memerciki peristiwa, merayapi sebongkah luka
ketika menimang sebutir padi dalam legenda moyang
perang anti kolonial itu tak sekadar perebutan ladang
tapi letupan harga diri melawan
portugis, spanyol , Belanda, juga abadabad lebih tua
UkungUkung mengirim pedang tumbak terhunus
menggemetari lembarlembar sejarah menderasi arasaras
dimana kebebasan tak mungkin tunduk pada ajal, pada senapan
kebebasan terus menegak meski tubuhnya tersungkur dalam lumpur
luka dan nanah
aku membaca sejarah kau samak itu
ketika angsaangsa menumpahkan semua kenangan, keluhnya
ke wajah danau dengan arakarakkan menjalarkan gaduh;
residen Marinus Balfour pada Juli 1809 mengutus Lodewijk Weintre
bersamanya beratusratus serdadu Belanda Ternate
beratusratus perahu, rakit, korakora
bersenjata lengkap. mengepung!
Minawanua sebenarnya tak bisa mereka rengkuh
di sana walakwalak setia berpegang sumpah
terjaga, serupa suara manguni mengabar makam
hanya tempat perebahan jasat
sedang sebuah nama abadi di matanya
gempuran meriam berdentum menggema
di subuh Agustus terpiuh itu
“I yayat un santi!”
seru waraney dalam derap serdadu Minahasa
juga suara perempuan di gelombang tak pernah diam
meriaki danau, menggetari rawa, seakan semua nyawa menyeru;
“Rumungku’ se Maesa!”
peperangan danau menggertak, miris tak memandang siapa
sesekali serangan berani mati pun tumpah
mengejutkan arwaharwah berduka
Weintre tersengat. menderita
dengan panas hati dan seluruh kebencian
Weintre mengobar serangan lagi
di malam 5 Agustus 1809
ketika penampangpenampang daun
baru mulai menampung embun
1400 pasukan melawan 4 perahu perang
menenggelamkan Moraya
dalam kobaran api dan anyir darah
pekik suara berdesing
di hembusan nafas terakhir para pemberani
memilih mati demi sesuatu yang diyakini indah
ruyup di embun dini hari
ada yang memasuki hutanhutan
suara tangisan anak, ratapan ibu
mengoyak air mata ke atas danau,
tak saja oleh musuh, tapi juga khianat
menyayat luka ke rahimrahim perempuan
terjarah dengan seluruh kisah kekayaan alamnya
foso ya foso
mengangkat sumpah
Ukung Lonto
tak pernah menyerah
laskar menguasai medan rawa penuh jebakanjebakan
hantuhantu danau dari pohon sagu dalam bentuk manusia,
dibungkus lumut dan tanaman melata
pada malam hari perisai ini dibiarkan mengambang di permukaan air
menyiutkan hati musuh mau mengoyak Moraya
kini dan di abad belum tiba
serupa Prediger yang terluka kepalanya
di atas tanah nenek moyang
dalam sejarahnya yang tak bersalah
di ujung peperangan
Weintre menulis laporannya; –temanku Balfour
Tondano telah mengalami nasib naasnya di tengah malam tadi
seluruhnya menjadi lautan api
tidak ada sisa lagi
mereka tidak sempat menyingkir
yang selamat dari amukan api
akan kami dihabisi–
debudebu beterbangan ke atas surat itu
menyuburkan hutanhutan
di semua seluk barisan gunung
mewariskan jejak gerilya
ke ujung langkah
menyeretku ke altar
“luminga ko’oko”
seekor manguni bertubuh
dalam nafasku
merangkai moraya lebih utuh
*) Moraya: Benteng pasukan Minahasa dalam perang Tondano 1908-1809. Teterusan: Pahlawan atau Panglima Perang Minahasa. Waruga: Makam leluhur orang Minahasa. Ukung: Kepala Walak (Kepala Suku) Minahasa. Walak: Suku. Minawanua: Perkampungan di tengah rawa Danau Tondano. Foso: Upacara adat pengambilan sumpah. Waraney: Pasukan atau pejuang Walak Minahasa.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post