Ketika perempuan-perempuan di Paris pada awal abad ke-20 masih keluar rumah dengan sepatu berleher rendah dipadu stoking, Denise Boulet justru membuat komunitas di kota mode tersebut terperangah. Itu setelah Denise yang bertubuh langsing mengenakan sepatu yang tingginya menutup hingga lutut.
Perempuan dengan boots jelas tidak jamak pada masa itu, apalagi di kota yang hingga kini menjadi kiblat fashion dunia. Tak ada rumah mode yang mengeluarkan desain apalagi koleksi sepatu feminin berleher tinggi. Tetapi apa yang dikenakan Denise pada 1913 itu, “menghentikan arus lalu lintas di Paris,” menurut Palmer White.
Paul Poiret —suami Denise— telah membuat pengecualian. Sepatu yang dikenakan sang istri adalah rancangannya yang kelak mengakomodasi bahwa boots bukan hanya milik para cowboy di masa lalu, kaum pekerja, atau militer yang pergi berperang.
Poiret adalah desainer kelahiran 20 April 1879 di Paris, Prancis dan tutup usia pada 30 April 1944 memang bisa disamakan dengan Picasso. Gaun rancangannya benar-benar anti-mainstream dan visioner, karena menjadi acuan pada gaya busana berpuluh tahun kemudian. Termasuk boots kulit domba yang dikenakan istrinya.
Namun sebelum legenda sepatu boots dikenakan Denise Poiret-Boulet, ternyata jejaknya telah ditemukan berabad-abad lalu. Situs bitebrands.co menulis tentang penemuan mumi berumur 1.500 tahun di daerah Mongolia yang sempat mengejutkan jagat.
Pemberitaan tersebut bahkan sempat menuai pendapat ‘aneh’ melalui teori konspirasi yang mengatakan bahwa mumi tersebut adalah time traveller atau penjelajah waktu. Ini karena mumi yang ditemukan tersebut mengenakan sepatu boots yang mirip dengan buatan Adidas.
Singkat cerita, mumi ditemukan tepatnya di kawasan Pegunungan Altai di komplek Pemakaman Turkik dan diduga memiliki jenis kelamin perempuan. Penemuan inilah yang menjadi dasar munculnya teori-teori tentang asal usul sepatu boots yang memang sudah ada lebih dari 1000 tahun yang lalu.
Pada awal kemunculannya, sepatu boots terdiri dari legging, sol dan bagian bawahnya terpisah dari atasnya dengan ukuran yang lebih besar dari sepatu atau sandal biasa. Tujuannya adalah memang untuk memberikan perlindungan pada pergelangan kaki dan dibuat hingga mencapai lutut.
Sepatu boots di tahun 1200-an dikenakan oleh para pekerja di Asia Timur dan dibawa ke Rusia, Cina, dan India hingga pada masa penjajahan Mongol. Dari sinilah sepatu boots mulai banyak dibuat dari kulit anjing untuk memberikan perlindungan dari suhu dingin.
Tak Nyaman Dipakai
Tahun 1920-an, sepatu boots berhak tinggi mulai banyak dipasarkan di Rusia. Namun perkembangan sepatu boots di Rusia tidak berkembang pesat karena hingga di 1930-an, sepatu boots sudah dianggap sebagai sepatu dengan kualitas yang buruk dan tidak nyaman dipakai untuk wanita ramping dan sederhana. Wanita Rusia pada saat itu lebih menyukai gaya sepatu modis yang lebih mendukung penampilan mereka.
Berbeda dengan Rusia, sepatu boots di Amerika lebih diterima secara luas oleh publik. Apalagi, seorang perancang sepatu di AS bernama Beth Levine dinobatkan sebagai orang pertama yang membawa budaya sepatu boots ke Haute Couture. Beth Levine mengenalkan sebuah desain sepatu boots dengan panjang sebetis di tahun 1953 yang dibuat khusus untuk anak-anak berkulit putih.
Di periode awal kemunculan sepatu boots memang didedikasikan untuk para anak perempuan di Amerika yang dibuat dari bulu domba. Meskipun pada mulanya sepatu boots dikenalkan oleh perantau dari Indian, namun sepatu boots lebih dianggap lahir di negara Amerika Serikat.
Sayangnya, popularitas Beth Levine dikalahkan oleh kehadiran Balenciaga, sebuah rumah mode mewah asal Spanyol oleh Cristobel Balenciaga yang merancang sepatu boots setinggi di atas lutut pada tahun 1962. Hadirnya sepatu boots berkulit buaya juga turut meramaikan pasar sepatu boots di Amerika.
Wanita-wanita di Amerika memang sudah terbiasa menggunakan sepatu boots sehari-hari mulai dari zaman suku Indian atau bisa jadi lebih lama dari itu. Berbeda dengan sepatu boots di zaman milenial saat ini, dulu, hampir semua sepatu boots dibuat dari kulit binatang. Para pekerja pria memburu binatang untuk diambil dagingnya, sedangkan kulitnya dimanfaatkan untuk membuat sepatu wanita.
Sebenarnya, kehadiran sepatu boots pernah mengalami kontroversi sosial. Orang dewasa yang menggunakan sepatu boots dianggap ‘konyol’ dan sangat tidak pantas. Sepatu ini lebih cocok untuk anak-anak hingga remaja perguruan tinggi. Kontroversi tersebut juga merambah di lingkungan para pekerja kantor. Bahkan, perusahaan mengeluarkan peraturan yang melarang karyawannya untuk menggunakan sepatu boots.
Hampir 75% manajer kantor seperti yang disurvei The New York Times menyatakan tidak setuju dengan hadirnya sepatu ini di lingkungan kantor. Sehingga, pada periode 1960 hingga 1968 sepatu boots mengalami penjualan yang buruk akibat adanya kontroversi tersebut. Namun menginjak periode tahun 1977-an, penjualan sepatu boots di AS mulai naik hingga 20% dari total penjualan sepatu wanita. Di tahun 70-an, omset yang diterima pabrik sepatu boots melonjak tinggi dengan hadirnya desain baru sepatu boots yang lebih tinggi dari lutut dengan hak berukuran mencapai 10 cm.
Mengalami Pasang Surut
Tiba di tahun 80-an, masa keemasan sepatu boots di tahun 70-an ternyata tidak berlangsung lama. Karena di periode tahun 1980, penjualan sepatu boots mengalami penurunan yang sangat tajam untuk kategori popularitas sepatu berkaki tinggi. Sepatu boots dikalahkan dengan hadirnya sepatu pergelangan kaki yang dianggap lebih bergaya untuk pengguna yang memiliki betis rendah.
Pasar sepatu boots memang mengalami pasang surut yang sangat signifikan. Adanya ledakan budaya klub dansa di tahun 90-an menyelamatkan pabrik sepatu boots dari kebangkrutan.
Gianni Versace yang ikut merancang desain baru dari sepatu boots turut mengharumkan popularitas boots di Vogue yang menyatakan “The Year of The Boot”.
Sepatu boots tidak lagi dirancang setinggi lutut saja, namun sudah mulai di desain setinggi pergelangan kaki untuk memenuhi permintaan pasar. (*)
Penulis: Ady Putong
Discussion about this post