Kampung Kinali, Siau, layak disebut kampung para pemberani, karena tak ada rumah dibangun tanpa menggali. Terletak di kaki Gunung Karangetang. Gunung berketinggian 1827 meter ini tegak bagai easel yang angkuh dimana jutaan ton material pasir dan abu vulkanik bertengger di puncaknya, sementara di bawahnya terhampar perkebunan pala yang luas dan subur. Gemuruh kawah dan semburan abu setiap hari terlontar ke udara membayang-bayangi Kinali, sekaligus menyuburkan tanaman unggulan ini.
Di atas kontur tanah miring dan curam Kinali terhampar. Jalur aliran lahar panas tak saja membela bagian tengah Kinali, tapi juga mengepung dari sisi kiri dan kanan kampung ini. Setiap kali ada letusan hebat, lahar panas tergelontor dan dengan cepat melintasi Kinali. Bayangkan, bagaimana sulitnya hidup di Kinali! Maka yang hidup di sini hanya mereka yang berani!
Namun yang mengejutkan, orang Kinali –seperti juga orang-orang dari Kampung lain di kaki gunung berapi itu– tak pernah mengeluhkan kondisi dan tantangan alam yang mereka hadapi. Satu saja yang mereka keluhkan yaitu HARGA PALA. Karena 447 jiwa dari 132 Kepala Keluarga penduduk Kinali bergantung hidup dari kebun pala. Apabila harga pala merosot, itulah sesungguhnya “bahaya” yang mengganggu hajat hidup mereka.
Sebagian penduduk ada yang berkebun palawija, sebagian lagi nelayan. Namun kedua mata pencaharian itu hanya mampu menompang sedikit dari kebutuhan sehari-hari. Kebun pala satu-satunya tempat bergantung hidup. Itu sebabnya mereka mengeluh apabila harga pala jatuh di pasaran. Keluh mereka sering dilontarkan. Tapi siapa yang mau mendengar? Itulah persoalannya.
Agustus 2018, harga pala Siau dari hasil penelusuran Barta1.com berkisar antara Rp. 52.000. – Rp. 55.000. per kilogram (kg). Sedangkan harga fuli Rp. 132.000 per kg. Sementara harga ideal pala Indonesia dalam data INDUSTRY.co.id berkisar dari Rp 75.000 – Rp 85.000 per kg. Sedangkan fuli berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg.
Di tengah persoalan krusial harga pala inilah orang-orang Kinali mencoba bersuara. Tapi kemana suara itu bermuara. Di kabupaten Sitaro, sebagaimana pengamatan, isu politik dan kekuasaan menjadi sihir utama keseharian. Seakan-akan upaya meraih kekuasaan adalah satu-satunya jalan merayakan hidup dan kebanggaan. Sementara keluh orang-orang berkekurangan tergelempang tak bermakna di tepi-tepi jalan. Selalu dilupakan. Lantas siapa yang paling diuntungkan?
Salah satu eksportir pala Siau, Ronal Takarendehang, saat diwawancari di Pehe, Siau (6/8/2018) mengatakan, harga pasar pala di Amerika Serikat (AS) saat ini, , dikisaran Rp 2.300.000. per kg. Harusnya dengan mengoleksi 800.000 pohon pala dengan produksi di atas 200 ton perbulan, petani pala di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), dapat meraih kesejahteraan dari komoditas unggulan ini. Tapi faktanya “jauh panggang dari api” petani terus merugi, sementara eksportir meraih untung berlebih.
Pala Siau si King of Species
Indonesia merupakan produsen kedua terbesar Nutmeg, Mace dan Cardamoms di dunia setelah Guatemala, dengan produksi 32.700 ton dan luas lahan 157.800 ha (FAO,2014). Sisanya dihasilkan dari India, Malaysia, Papua Nugini, Sri Lanka dan beberapa pulau di Karibia.
Uniknya, Pala Indonesia dikenal dengan nama yang berlainan di beberapa daerah di Tanah Air, seperti palo (Nusa Tenggara), kala pelang (Sumatra Barat), kuhipun (Maluku) atau gosora (Ternate), Palang (Siau). Namun dari sekian nama itu, hanya pala Siau yang dijuluki King of Species oleh pasar Uni Eropa.
Permintaan dunia untuk komoditas Pala Indonesia – terutama pala Siau– memang sudah berlangsung lama. Indonesia seharusnya berbangga dan tak terlena dengan kesohoran komoditas Pala Indonesia yang sudah sejak lama dicari negara dunia. Komoditas pala (nutmeg) menjadi incaran dunia, sejak jaman penjajahan. Selalu ada permintaan pala asal Indonesia untuk dikirim ke negara-negara luar, terutama Eropa.
Tanaman pala menghasilkan dua produk bernilai ekonomi tinggi yaitu biji pala dan fuli (kembang pala yang menyelimuti biji). Bagian tanaman pala yang mempunyai nilai ekonomis adalah bagian buah. Peluang pengembangan industri berbahan baku pala cukup banyak. Mulai dari daging buah yang muda banyak digunakan untuk makanan ringan dan minuman seperti manisan, permen, sirup dan jus pala.
Sementarau minyak pala yang diperoleh dari penyulingan biji pala muda, selain untuk ekspor juga merupakan bahan baku industri obat-obatan, pembuatan sabun, parfum dan kosmetik di dalam negeri. Produk lain yang mungkin dibuat dari biji pala adalah mentega pala yaitu trimiristin yang dapat digunakan sebagai minyak makan dan industri kosmetik. Namun di dalam negeri, belum banyak industri hilir pala yang diusahakan. Diantaranya adalah proses pengolahan daging buah pala mentah hingga berbentuk manisan atau asinan, pembuatan sirup.
Pala Indonesia sebagian besar diekspor dan memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan Pala dunia. UN Comtrade mencatat bahwa pada tahun 2015 Indonesia merupakan eksportir terbesar pala dunia baik untuk HS 0908100010 Nutmeg in shell maupun HS 0908100020 Nutmeg shelled. Adapun pasar utama tujuan ekspor pala Indonesia adalah Uni Eropa, Amerika, Jepang, dan India.
Maraknya Aksi Penolakan di Pasar Ekspor
Penolakan terhadap komoditas pala Indonesia oleh pasar Uni Eropa masih terus terjadi saat ini, hingga mempengaruhi harga di tingkat petani. Data Food and Feed Safety Alerts (RASFF) Komisi Eropa menunjukkan adanya peningkatan kasus penolakan ekspor pala dari Indonesia kebeberapa negara Uni Eropa (UE) dalam 10 tahun terakhir.
Pada tahun 2011 — sebagaimana dilansir INDUSTRY.co.id–terdapat 7 kasus dan sempat turun pada tahun 2012 menjadi 3 kasus. Namun pada tahun 2013 meningkat kembali menjadi 6 (enam) kasus, tahun 2014 ada 12 kasus, tahun 2015 terdapat delapan kasus dan tahun 2016 terdapat 24 (dua puluh empat) kasus.
Dasar penolakan tersebut adalah European Union Regulation 165 Tahun 2010, yang menetapkan standar batas kandungan aflatoksin pada pala yang akan masuk ke Uni Eropa yaitu aflatoksin B1 sebesar 5 ppm dan aflatoksin total 10 ppb. Kemudian sejak tahun 2012 melalui Amandemen Regulasi UE No. 669/2009, Uni Eropa telah memberlakukan kontrol kelengkapan dokumen dan persyaratan kesehatan terhadap ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa.
Selanjutnya pada tanggal 26 September 2014 DG-Sanco mengeluarkan peraturan baru bahwa impor produk makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan wajib diawasi secara ketat dan wajib dilakukan pemeriksaan 20% dari jumlah komoditi yang diimpor sejak 1 Oktober 2014. Dan terakhir, sejak tanggal 20 Januari 2016 melalui Regulasi UE No. 2016/24, Uni Eropa menerapkan Measures tambahan yaitu sertifikat kesehatan dan uji laboratorium (level kandungan aflatoksin). Pala yang akan diekspor ke UE dari Indonesia harus di uji terlebih dahulu dan kandungan aflatoksinnya tidak melebihi ambang batas.
Harga Terpuruk dan Permainan Kotor Eksportir
Harga pala Siau benar-benar ambruk dalam kurun 10 tahun terakhir. Pemerintah daerah dinilai tidak punya political will (kemauan politik) menangani kemelut tersebut, sekaligus gagal mewujudkan janji mensejahterakan rakyat lewat kenaikan harga komoditas yang langsung berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak ini.
Pengamat pembangunan Sulut Pitres Sombowadile, belum lama, secara tajam mengeritik, lewat komentarnya di media social, mengatakan pemerintahan Bupati Toni Supittidak berempati pada kepentingan rakyat kecil. Selain mahalnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai bukti, juga harga komoditas pala yang jongkok di 10 tahun masa kepemimpinannya adalah bukti yang lain.
Kemelut harga pala yang sulit merangkak naik ini, sebenarnya sudah lama mendapat sorotan berbagai pihak, termasuk para petani pala.
Menanggapi ambruknya harga pala Siau dan maraknya kasus penolakan di pasar ekspor ini, Ronald Takarendehang, salah seorang eksportir pala asal Indonesia mengatakan, hal pokok yang melatarinya yakni permainan di tingkat eksportir yang secara sengaja memainkan mutu pala.
“Sebagai contoh, pala asal Siau dicampur dengan produksi pala dari daerah lain. Akibatnya mutu pala Siau jadi turun. Selain itu, tidak ada semacam jaminan keabsahan sebagai penanda perbedaan spesifikasi antara pala Siau dengan pala dari daerah lain,” ujar Takarendehang.
Di lain sisi kata dia, Uni Eropa telah memberikan Geographical Indication bagi pala Siau dengan spesifikasi khusus yakni sebagai pala terbaik dunia karena pas dengan standar kesehatan.
“Jadi pala dari Siau tak mungkin ditolak UE. Persoalannya adalahkarena nyaris semua eksportir pala Indonesia melabel semua produk ekspor mereka sebagai pala Siau. Lantas siapa yang menjamin kalau produk ekspor mereka itu benar-benar pala yang berasal dari Siau. Siapa yang mengontrol itu semua.”
Dikatakannya, pala Siau membutuhkan semacam petanda dari pemerintah daerah untuk menjamin pasar Uni Eropa bahwa komoditas yang mereka beli itu benar-benar pala Siau.
Menurutnya, sudah sejak lama dia menghimbau, agar pemerintah daerah mengeluarkan semacam sertifikat jaminan keabsahan sebagai penanda perbedaan spesifikasi antara pala Siau dengan pala dari daerah lain, namun pemerintah terkesan tak punya political will menangani masalah ini. Disitulah salah satu persoalan krusial yang menyebabkan harga pala Siau terpuruk.
“Harga pala tidak bisa dinaikkan secara sepihak di daerah, sementara harga pasar di luar sana rendah,” kata Takarendehang.
Lantas mengapa pala Siau sulit bertengger setidaknya mendekati harga ideal pasar Pala Indonesia? Menurut Takarendehang, pemerintah terkesan abai dalam memproteksi permainan di tingkat eksportir yang secara sengaja memainkan mutu pala Siau dengan cara mencampur produksi pala Siau dengan pala dari daerah lain. Akibatnya mutu pala Siau jadi turun, maka berdampak pada harga. Lebih jelas dipaparkannya hasil produksi pala Siau 200 ton per bulan tapi karena dicampur dengan Pala lain maka membengkak hingga 500 ton perbulan.
“Disitu jelas kelihatan, pada tingkat ekspor pemerintah pusat tak punya kontrol terhadap kualitas pala Indonesia. Pada level daerah pemerintah kabupaten Sitaro tidak punya kemauan politik menjamin spesifikasi Pala Siau lewat semacam sertifikat saat pala tersebut keluar dari Siau,” kritiknya.
Pemerintah daerah kata dia, harusnya melihat masalah ini secara serius karena menyangkut nasib dan kehidupan rakyat di daerah.
Dikatakannya, pala Siau jauh lebih mahal dibanding harga pala dari daerah lain di Indonesia. Karena kualitasnya memang berbeda. Contohnya, harga pala Aceh hanya Rp. 45.000. per kg. Sementara harga pala Siau idealnya berkisar dari Rp 75.000 – Rp 85.000 per kg. Sedangkan fuli berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg. Sedangkan harga di daerah lain lebih murah lagi.
“Ini sebabnya eksportir mencampur pala Siau yang memang berkualitas unggul dengan pala dari daerah lain yang kualitasnya di bawah. Permainan ini membuat mutu pala Siau ikut merosot di mata pasar dunia. Jangan jauh-jauh, mutu pala Talaud, dan Minahasa saja berbeda jauh dengan mutu pala Siau. Ini disebabkan oleh faktor alam,” jelasnya.
Solusi kongkrit kata dia, pemerintah daerah harus mengeluarkan semacam berkas bea ekspor setiap produk pala yang keluar dari Siau. Berkas bea ekspor itulah yang akan menjadi petanda bagi pasar dunia bahwa pala tersebut benar-benar dari Siau.
Jalan Berliku Menuju Pasar Eropa
Pimpinan PT Gunung Intan Permata Debora Manueke mengatakan komoditas pala asal Sulut sekitar 70-80 persen diekspor ke Uni Eropa, karena konsumsi rempah-rempah asal Indonesia di Uni Eropa cukup tinggi. Dikatakannya meskipun harga berfluktuasi tapi volume tetap stabil, sebab konsumsi komoditas pala di negara Uni Eropa seperti Italia, Belanda, Jerman sangat tinggi.
Sementara Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut Darwin Muksin mengatakan komoditas pala yang diekspor ke Eropa yakni biji pala dan bunga pala. “Komoditas pala yang paling diminati Uni Eropa yakni berasal dari Kabupaten Kepulauan Sitaro yang biasa dikenal dengan nama pala siau,” ungkapnya.
Dikatakan Muksin, pada 2017 Sulut mengekspor komoditas pala ke delapan negara sebanyak 582.780 ton dengan sumbangan devisa bagi negara sebesar 4,314 juta dolar AS. Jumlah tersebut akan terus ditingkatkan pada 2018.
Sementara, Kadis Perindag Sitaro Fatmawati Kalebos kepada para wartawan belum lama, mengatakan, maraknya penyeludupan pala dari luar Pulau Siau, membuat pemerintah harus mengambil langkah tegas. Karena penyeludupan yang dilakukan menjadi salah satu penyebab anjloknya harga pala Siau.
Pemerintah kata dia, sudah melakukan pengawasan ketat terkait penyeludupan pala. Kita juga bekerja sama dengan salah satu lembaga swasta membantu mengawasi masuknya pala dari luar, yang nantinya akan dicampur dengan pala Siau, karena itu berdampak buruk pada kualitas, sehingga menurunkan harga.
Bupati Toni Supit kepada pers juga menyatakan, ia berharap agar masyarakat menyadari untuk menjaga kualitas dan harga pala tanggung jawab bersama. “Jangan kita sendiri yang turut membantu penyeludup ini. Karena dampak negatif akan dirasakan seluruh masyarakat di Sitaro,” ujarnya. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post